Radarpos.com.Solo –Legenda Komedian Srimulat tidak boleh tamat begitu keinginan salah satu Keluarga Srimulat yang juga putra dari Kho Tjien Tiong alias Teguh, Eko Saputro alias Koko. Dia merasa perlu generasi muda mengenal Srimulat, salah satu grup komedi legendaris asal Solo.
Guna mewujudkan keinginan itu, sekaligus dalam rangka perayaan 70 tahun Srimulat, Museum Gubug Wayang Mojokerto dan Museum Keris Nusantara Kota Solo menyelenggarakan Pameran Wayang Golek Srimulat Abadi di Museum Keris Nusantara Solo.
Pameran ini akan dilaksanakan selama satu bulan penuh dari 8 Agustus 2023 sampai 8 September 2023. Koko mengaku beberapa waktu lalu dirinya bertemu dengan pimpinan Museum Gubug Wayang dan membicarakan mengenai rencana membuat karakter pemain Srimulat menjadi wayang golek. Dirinya merasa tidak keberatan.
“Ini tentu supaya generasi yang akan datang mengerti dan tahun bawah Solo pernah punya grup lawak yang mempelopori komedi di Indonesia,” kata dia dalam jumpa pers di The Sunan Hotel Solo, Rabu (2/8/2023).
Kepala UPT Museum Solo, Bonita Rintyowati mengungkap alasannya memfasilitasi pameran wayang golek yang bakal menampilkan karakter para pemain Srimulat itu. Menurut dia, Pemkot Solo bertanggung jawab mengembangkan kesenian di Solo.
“Termasuk kesenian komedi. Apalagi Srimulat ada kaitannya dengan Taman Balekambang Solo. Ada cita-cita dari kami agar Srimulat bisa dihidupkan lagi,” kata dia.
Selain itu, Bonita menyebut tujuan Wayang Golek Srimulat dipamerkan yakni agar anak muda mengetahui kejayaan Srimulat di masa lalu. Pihaknya mengajak Museum Gubug Wayang yang bakal menghadirkan karakter wayang Srimulat ke Solo.
“Karena ada keterkaitan sejarah maka kita kembalikan ke Solo. Srimulat perlu diperkenalkan, karena Srimulat pelopor pelawak Indonesia,” kata dia.
Selain itu, pengaruh Srimulat jauh lebih besar dan merambah ke berbagai sektor termasuk ekonomi. Bonita menyebut jika tidak ada Srimulat, maka tidak akan ada pasar malam. Dia menyebut UMKM yang ada di Solo kala itu, juga turut bermunculan lantaran pentas dari Srimulat.
Selain memainkan wayang golek Srimulat, guna memperingati 70 tahun Srimulat, bakal ada peluncuran buku berjudul Komedi dan Melodi Teguh Srimulat karya Herry Gendut Janarto.
Herry mengenang perjalanan panjang buku itu merekam kesuksesan Srimulat pada masa lalu. Dia mengatakan buku itu sudah berusia 32 tahun. Ditulis saat Srimulat sedang jaya dan para pelawak masih dalam performa tertinggi, dia langsung nembung ke Teguh Slamet Rahardjo untuk meminta izin menulis buku.
“Saya waktu itu masih kerja sebagai reporter di majalah Femina. Pak Teguh tidak langsung jawab, membolehkan atau tidak dibuat buku. Sembilan bulan lebih saya nunggu, tapi akhirnya bisa ditulis,” kata dia.
Dia mengatakan pesan Teguh hanya satu, yakni tidak usah sampai merepotkan dan mengganggu aktivitasnya. Benar saja Herry menggarap buku itu selama tiga tahun tanpa merepotkan tokoh pelopor Srimulat itu.
“Saya bersyukur bisa membukukan Pak Teguh. Waktu itu beliau masih bisa diwawancara. Para pelawak Srimulat juga masih lucu-lucunya, saya bersyukur bisa membukukan ini,” kata dia.
Herry membocorkan akan ada lanjutan buku kedua berjudul Srimulat Tak Pernah Tamat. Dia masih menyusun naskah dan proses menulis. Namun, dia tidak bisa memastikan kapan buku itu akan terbit.
“Kalau buku kedua lebih ke arah pasca Pak Teguh. Meski Pak Teguh sudah wafat Srimulat kan tidak tamat. Dari pasca Pak Teguh ke sini saya akan catat. Ini akan melengkapi buku pertama. Kalau mau lengkap utuh bicara tentang Srimulat, maka butuh satu buku lagi,” kata dia.
Buku Berpacu dalam Komedi dan Melodi Teguh Srimulat edisi terbaru bakal diterbitkan oleh penerbit Gramedia. Dari catatan tertulis yang diterima Solopos.com, buku karya Herry itu menceritakan tentang kisah Kho Tjien Tiong alias Teguh yang membangun sebuah kelompok lawak untuk istrinya, Raden Ayu Srimulat yang berdarah Jawa, dengan sebutan ‘Aneka Ria Srimulat’.
Walaupun keduanya berbeda latar belakang, hubungan pasangan ini selalu terjalin manis, romantis, dan harmonis. Bahkan, nama Teguh-Srimulat pun tidak pernah terpisahkan.
Cara setiap orang pasti berbeda dalam menghormati dan mengabadikan orang yang dicintai. Seperti halnya dengan Teguh yang memiliki caranya yang unik dalam menggeluti dunia komedi.
Dalam buku ini diceritakan bahwa dalam masa kejayaan Srimulat, komunitas tersebut tidak terlepas dari incaran organisasi PKI, yaitu Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Teguh, sang pendiri Aneka Ria Srimulat cukup awas dan menolak dengan tegas untuk dijadikan sebagai corong propaganda politik.
Pada akhirnya, anggota-anggota grup lawak ini mendapatkan banyak teror dari Lekra. Walaupun demikian, Aneka Ria Srimulat tidak gentar dan tetap berpegang teguh pada pendirian.
“Dasar pemikirannya sederhana, bahwa ia mendirikan rombongan Aneka Ria Srimulat sekadar untuk menyajikan hiburan segar sehat bagi masyarakat dan hidup tenteram layak bermartabat bersama segenap anak buahnya. Lain tidak!”
Secara keseluruhan, buku ini menceritakan tentang sejarah terbentuknya Aneka Ria Srimulat dan lika-liku perjalanan hidup Teguh dan Srimulat. Grup lawak Srimulat sebenarnya telah mengalami bongkar pasang pemain.
Namun, awalnya dipenuhi oleh anggota-anggota senior; Gepeng, Bendot, Asmuni, Basuki, Timbul Suhardi, Mamiek Prakoso, Djudjuk Djuariah, Eko DJ, Bambang Gentolet, dan Gogon yang namanya selalu diingat meskipun sudah berpulang.
Srimulat merupakan kelompok kesenian tradisional yang menggabungkan lawakan dan nyanyian, khususnya lagu keroncong dan lagu Jawa. Srimulat diawali dengan nama Keroncong Avond saat Teguh Slamet Rahardjo dan Raden Ayu Srimulat melakukan pertunjukan lawak di pasar malam, Tegal.
Kemudian, berubah nama menjadi Gema Malam Srimulat di Kota Solo pada 8 Agustus 1950. Selanjutnya, pusat aktivitas pertunjukan berpindah ke Surabaya. Di kota inilah, Aneka Ria Srimulat mulai berkembang pesat menjadi grup lawak nasional terbesar se-Indonesia [R-01]